“Kita tidak bisa memecahkan masalah dengan menggunakan jenis pemikiran yang sama seperti yang kita gunakan saat kita menciptakannya.” ~ Albert Einstein
Menjadi Penulis akan terasa semakin memuaskan dan menggembirakan, ketika kita bisa menghadapi segala tantangan. Tapi, sadarkah kamu dengan tantangan yang hadir saat menjadi Penulis?
Ya, namanya tantangan, ibarat main game, semakin tinggi levelnya, semakin tinggi tantangannya. Tapi pada akhirnya kamu naik kelas, dari dulunya cuman nulis curhatan, eh sekarang nulis bisa dapetin penghasilan.
Ada tantangan yang berhasil kamu lewati. Tapi, apa sebenarnya tantangan terbesar kamu?
Writer’s Block, Inspirasi, hingga Mood
“salah satu manfaat banyak membaca buku, yakni memiliki banyak sudut pandang yang bisa kita pakai ketika menghadapi persoalan.” ~ Dwi Andika Pratama
Semakin banyak pengetahuan tentang diri dan apa yang kamu sedang jalani, writer’s block mudah sekali diatasi. Karena sifatnya yang internal, kamu mesti menyadari apa yang membuat writer’s block itu muncul.
Sepengalaman saya, ketika saya mengalami writer’s block, yakni kurang referensi. Sejak saat itu saya banyak membaca buku tentang pengembangan diri, bisnis, pemasaran, hingga psikologi (hipnoterapi, NLP). Agar bisa membekali diri untuk menghadapi tantangan.
Semenjak banyak baca buku, menulis topik yang saya ingin bawakan menjadi lancar. Ada pun inspirasi, kita bisa dapatkan dari tulisan orang lain.
Seperti kata Austin Kleon dalam Steal Like An Artist, “tidak ada yang benar-benar baru, semuanya dari meniru”.
Cuman kaidah menirunya tetap diutamakan, mengutip Penulis, mengakui kalau kita mendapatkan ide dari Penulis lain, bukan mengklaim dari kita.
Bahkan Rene Suhardono dalam #Ultimat3U mengatakan “Inspirasi, berasal dari akar kata inspirare, artinya to breathe, bernafas. Jadi selama Anda bernafas Anda punya kesempatan menjadi lebih baik.”
Coba deh, kamu berdiam sejenak lalu berfokus ke nafas, apa yang kamu rasakan? Kesejukan? Ketenangan?
baca juga: Menjadi Koki Kata di Dapur Penulis (Sebuah Analogi)
Tenang adalah kondisi alpha, dimana pikiran hanya fokus pada satu hal, yakni nafas. Dalam Quantum Ikhlas, Erbe Sentanu membeberkan kalau kondisi gelombang otak alpha dekat dengan pikiran bawah sadar.
Kamu tau? Pikiran bawah sadar ini gudangnya memori, pusat emosi, hingga kebiasaan kita dikendalikan di sini.
Dalam diri kita ada yang namanya RAS (reticular activating system), ini adalah gerbang untuk masuk ke pikiran bawah sadar. Dan untuk masuknya mesti melalui gelomba otak alpha.
Inspirasi itu bukan ditunggu, tapi diciptakan, dijemput, bahkan dihadirkan. Caranya? Mulai menyadari kehadiranmu dengan berfokus ke nafas.
Selanjutnya mood.
Sebenernya mood itu juga masuk ke pikiran bawah sadar, karena berpusat pada emosi. Kalau kamu nggak tau bagaimana mengendalikan mood dan menulis hanya terpaku pada mood. Habislah sudah.
Kamu nggak akan jadi Penulis, kalau terus terpaku pada mood. Kamu harus mengendalikan moodmu. Emang nulis itu mesti feel good, tapi bukan berarti kita ngandelin mood.
Dalam modul 1 Certified Impactful Writer, menjelaskan bagaimana mengendalikan mood menulis, seperti mengendengarkan musik favorit, menciptakan lingkungan yang mendukung agar terbentuk kebiasaan.
Bukankah kita, apa yang kita lakukan setiap hari? Penulis mesti menjadikan menulis sebagai runititas utama, seperti halnya makan, tidur, mandi, dsb.
Kalau kamu ingin naik level menjadi Penulis Profesional, maka writer’s block, inspirasi, dan mood bukanlah hambatan bahkan tantangan lagi.
Siap?
Belief yang Membatasi
Belief atau kepercayaan yang kita bangun, itulah yang sebenernya yang membatasi. Contoh yang paling sederhana begini: “jika saya membeli gadget baru, maka saya bahagia”. Coba diingat-ingat lagi, apa yang membatasi dirimu?
Belief ini ibarat software dalam diri kita, siap menjalankan perintah apapun yang kita ciptakan sebelumnya. Makanya hati-hati terhadap belief.
Penting untuk kamu sadari, belief mana yang membatasi dan mana yang mendukung. Saya akan beri contoh lagi:
“wah, ngapain jadi Penulis, kalau ujung-ujungnya tulisan kita diplagiat.” – Negatif dan membatasi.
“wah, seru banget jadi Penulis, dari tulisan bisa menghasilkan dan menebar manfaat.” Positif dan melegakan.
Nah, kalau kamu masih memiliki belief seperti:
“wah, gue nggak bisa nulis kalau nggak mood”
“ah, berantakan mood gue hari ini!”
“bingung, mau nulis apa, nggak ada inspirasi”
Nah, ini belief yang membatasi, kalau kamu menyadari dan kamu melepaskan itu, ya bisa banget. Saya pernah begitu, seharusnya kamu pun bisa.
Sekali lagi, kita hanya butuh banyak membaca buku. Dengan begitu kita bisa punya banyak tools. Seperti yang kata Budiman Hakim dalam Menulis Tanpa Ide “nulis aja dulu, nanti ide hadir kemudian”.
Kalau kita nggak tau sudut pandang seperti itu, mungkin kita akan tetap stuck, diam di depan laptop atau menatap lama buku catatan.
Sepele sih, tapi yang namanya sudut pandang, kita bisa dapatkan dari orang lain atau perenungan. Ya, namanya lagi stuck, kita butuh sudut pandangan orang lain, sampe di sini mulai kebayang?
baca juga: Kenapa 97% Buku Langsung Terbit Lewat Orang Dalam?
Mulai tau mesti ngapain?
Kalau kamu nggak sempet banyak baca buku, misal buku psikologi yang membahas bagaimana mengendalikan emosi, menghancurkan belief yang membatasi.
Hingga buku bisnis dan marketing yang membahas bagaimana memasarkan tulisan, bagaimana menghasilkan dari tulisan.
Ya, jadi Super Impactful Writer adalah jawabannya. Udah bisa nulis, ya, bisa bisnis. Sesederahana itu, materinya juga lengkap banget.
Sekali lagi, kalau kamu ingin lebih banyak belajar dari keadaan dan menemukan jawabannya sendiri, ya, nggak masalah. Tapi, ya waktu terus berjalan, masa iya kita ingin ketinggalan karena kelamaan?
Itu pun juga bagian dari belief “ah, gue mau menemukan jalan sendiri, biarin lama juga”. Makanya, penting untuk memilih belief yang mendukung, agar apa yang kamu inginkan lebih cepat tercapai. Gitu ya?
Woke lanjut, masih dengan belief nih.
“ah, gue mah masih belajar nulis nih, nggak pantes dibilang Penulis”.
Hey! Yang bilang nggak pantes tuh siapa? Kamu mesti mewaspadai dan menyadari apa-apa belief yang membatasi kamu menjadi Penulis. Bahkan menjadi Penulis Profesional.
Kalau kamu masih memiliki belief “ah ngapain nulis diduitin, nanti nggak original lagi”. Ada idealisme kalau menulis, ya menulis aja, nggak mau dimonetisasi (diduitin).
Ketika nanti kamu ingin menghasilkan dari tulisan, kalau belief itu masih ada, wah, ada gejolak dari diri kamu. Coba deh, rasakan.
Makanya penting untuk dapetin pemahaman yang tepat. Seperti yang dibahas di Dapur Penulis (sebuah analogi).
Ya, ibarat koki, masa mesti kerja di restoran dulu, baru layak disebut Koki, masa mesti punya rumah makan dulu, baru dibilang Koki. Nggak juga kan?
Selama kamu bisa menyajikan tulisan yang enak dibaca dan bermanfaat, kamu adalah Penulis. Woke?
Belum Jatuh Cinta Pada Membaca
“Hanya butuh satu buku untuk jatuh cinta pada membaca” ~ Najwa Shihab
Mungkin kamu bertanya-tanya “terus, gimana supaya kita bisa baca?”. Kalau kamu udah membaca Panduan Menulis untuk Pemula, kamu akan tau caranya.
Udah dapet belum? Kalau belum, ketika ada pop up di impactfulwriting.com, coba deh perhatikan. Nah itu, bisa kamu dapatkan di sana.
Apa yang dikatakan Mba Nana betul sekali, hanya butuh satu buku untuk bikin jadi suka baca. Makanya penting kita memiliki rekan yang suka baca, minimal kita jadi tau isi buku yang lagi dibaca rekan kita.
Bagi orang yang sering membaca buku, pasti sangat mengasyikkan, tapi bagi yang nggak tau rasanya, amat sangat membosankan. Itulah persepsi.
Bahkan Tere Liye mengatakan “untuk bisa menulis, membaca adalah harga mati yang tak bisa ditawar-tawar lagi”. Membaca itu ibarat kita sedang mengisi amunisi, karena nggak bisa menembak tanpa peluru.
Kalau males, paksakan.
Kalau ngantuk, paksakan.
Kalau pusing, paksakan.
Nggak ada cara selain mendisiplinkan diri, kelak kamu akan menemukan buku yang membuatmu jatuh cinta.
Namanya jatuh cinta, kamu akan merasakan menikmatan yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata, tapi bisa dirasa.
Membaca itu sama aja seperti sedang berpikir, bercakap-cakap (dengan Penulis), mengeksplorasi, bahkan jalan-jalan ke dalam diri sendiri.
Jadi, temukan buku yang membuatmu jatuh cinta.
Rapuhnya Identitas
Satu lagi tantangan Penulis untuk bisa tumbuh. Yakni krisis identitas. Udah ada belief yang membatasi, eh nggak merasa dirinya sebagai Penulis.
Lengkap sudah!
Dalam Neuro-Linguistic Programming (NLP), hal yang paling penting untuk mengubah perilaku hingga menjadi kebiasaan, yakni belief dan identitas.
Perilaku, kebiasaan, apa pun yang terlihat adalah output apa yang ada di dalam diri seseorang. Kalau kamu masih belum merasa sebagai Penulis, rasanya sulit untuk bisa menghasilkan dari tulisan.
Menganggap diri sebagai Penulis aja, sulit. Apalagi Penulis Profesional. Mungkin kamu bertanya-tanya “lalu, solusinya ngapain nih kak?”.
Sebelum lebih jauh, mari kita pahami lebih mudah apa sebenernya identitas itu. Sederhananya “baju” yang kamu kenakan, “aduh, makin nggak ngerti”.
Oooh santuy…
Semakin kamu merasa bingung, semakin kamu berpikir kalau peran identitas itu penting banget.
Kita ambil contoh yang lebih konkrit, yakni Polisi. Orang mengira Polisi karena apa? Orangnya atau bajunya? Ya, bajunya dong.
baca juga: Bagaimana Menulis Buku Tanpa Gangguan? Kenali Pemicunya!
Ada lagi nih, Dokter. Kita akan menyebutnya Dokter, karena pakai jas berwarna putih dan membawa stetoskop. Iya kan?
Itu hanya perumpaan secara fisik (yang bisa dilihat) aja. Identitas itu levelnya bukan di fisik, tapi metafisik alias nggak bisa dilihat tapi bisa dirasa.
“apa yang bikin kamu merasa seorang Penulis?”
Selama kamu menulis, kamu Penulis. Kamu mesti memutuskan kalau kamu adalah Seorang Penulis. Yang mengatakan menjadi seorang Penulis itu mesti nulis buku, mesti punya blog, siapa?
Ingat itu hanya belief yang membatasi, itu hanya media aja. Nah, media itu juga pendukung kamu sebagai Penulis.
Makin bisa menjangkau luas siapa aja yang akan membaca tulisanmu. James Clear dalam Atomic Habits mengatakan “sebelum mengubah kebiasaan, ubahlah identitas terlebih dahulu.”
Setelah diubah identitasnya, berubahlah semuanya. Sampe di sini mulai kebayang?
Saya pribadi menyematkan identitas Impactful Writer, yang bisa content writing dan copywriting. Karena keduanya saling melengkapi, tanggung banget kalau hanya menganggap copywriter atau content writer.
Itulah kenapa kami berikan nama Impactful Writing agar bisa menguasai keduanya. Bukan dari teori, tapi dari pengalaman yang dibuat pembelajaran.
“oh gini lho bikin tulisan yang berkualitas dan berdampak”.
Karena pengalaman saya selama 7 tahun di bidang penulisan konten. Menyimpulkan content writing dan copywriting, di antara keduanya sangatlah penting.
Sekali lagi, Identitas itu ibarat baju yang sedang kita dikenakan, tapi ini tak kasat mata, tapi dampaknya luar biasa.
Makanya penting identitas didukung dari eksternal seperti komunitas hingga email bisnis, apa nggak bangga pake email yang berkaitan dengan profesi?
Itulah kenapa kami menghadirkan program sertifikasi impactful writer, satu-satunya program sertfikasi untuk penulis profesional yang memberikan email bisnis. Saat ini masih bersubdisi dari Rp. 1.999.000 hanya 299rb aja. Kuyyy.
Iklan dikit nggak apapa kan? Wkwk. Lanjut ya?
Sulitnya Membangun Kebiasaan Menulis
Menulis itu soal pembiasaan, kalau nggak mendisiplinkan diri hingga akhirnya menjadi kebiasaan, rasanya agak sulit.
Sebab menulis itu butuh improvisasi, saya berprinsip “kuantitas di atas kualitas”, dimana semakin sering menulis, semakin mudah membuat tulisan yang berkualitas.
Untuk membangun kebiasaan menulis itu mudah, asal tau caranya. Saya menganut teorinya James Clear dalam Atomic Habits.
Waktu dan Tempat bersatu, cara termudah untuk menginstall kebiasaan. Ada pun menciptakan lingkungan terlihat, seperti laptop tinggal buka, prosesnya cepat (inilah alasan saya ganti hardisk jenis SSD) dan merasa puas saat menulis, begitu terus sampe dapetin kebiasaan.
Bagaimana bisa merasakan puas dalam menulis? Sampe habis.
Menemukan Motif Tersembunyi
Apa yang kamu kejar ketika menulis? Kebahagiaan? Kebahagiaan karena apa? Yang seperti apa?
Misal, di awal saya belajar menulis hanya berfokus ke menulis apapun yang saya rasakan, mau lagi seneng atau lagi marah atau bahkan lagi benci. Saya nulis sampe merasakan kebahagiaan.
Nah, itu namanya menulis untuk melepaskan (release) emosi, dimana menulis untuk melepaskan emosi yang nggak nyaman dalam diri.
Semakin sering, semakin nyaman dan suka. Lalu hingga akhirnya saya berpikir. “bagaimana dari menulis ini bisa menghidupi diriku ya?”.
baca juga: Membuka 9 Pintu Rezeki dengan Menjadi Super Impactful Writer
Akhirnya, saya pertama kali ikut lomba menulis dan mendapatkan apa yang saya inginkan.
Apapun motif kamu, kejar sampe kamu benar-benar merasakan apa yang kamu inginkan. Lalu, ulangi hingga kamu benar-benar terus ingin merasakan itu. Karena itulah yang membuat kamu terus menulis.
Ada lagi contoh, biar kamu makin kebayang dan segera mempratekkannya.
Mungkin kamu ingin mendapatkan kepuasan karena menebar bermanfaat, yaudah buat tips yang bikin orang lain terbantu, sampe mereka berkomentar “wah, keren banget ini, sangat bermanfaat”. Nah itu yang bikin ketagihan.
Berfokus ke Faktor 80%
Teori sosial mengatakan 80% lingkunganlah yang membentuk kepribadian seseorang. Nah, ini juga berkaitan dengan kebiasaan yang akan kamu ciptakan, yakni menulis.
James Clear menyarankan untuk menjadikan lingkungan di rumah kita, mudah untuk melakukan kebiasaan yang ingin kita lakukan.
Misal, laptop di tempat yang mudah untuk menulis. Ketika di depan laptop, rasanya mau nulis (apapun itu). Ingat! Waktu + tempat = kebiasaan.
Ada pun kamu bisa ikut di komunitas yang berfokus ke profesi. Seperti para alumni Certified Impactful Writer semua batch berkumpul di grup telegram.
Menariknya dari Siswa SMP, SMA, Mahasiswa, Sarjana, Pascasarjana, Pekerja, Guru, Dosen, Ibu Rumah Tangga, hingga Pesiunan ikut Certified Impactful Writer. Wah, terharu. Bisa rame banget di sana.
Certified Impactful Writer Berfokus ke Lingkungan dan Menciptakan Identitas
Kalau kamu menginginkan lingkungan yang tepat hingga fasilitas pendukung profesi, ya join certfied impactful writer adalah jawabannya.
Apalagi email bisnis yang kamu dapatkan cocok untuk membangun identitas sebagai Penulis Profesional. Email yang kamu akan dapatkan bisa [email protected] atau [email protected].
Gituuu…
Wah, nggak terasa udah di akhir tulisan aja nih. Hehehe. Mudah-mudahan tetap mendapatkan manfaatnya ya?
Tulisan ini sebelumnya dipost menjadi guestpost di https://arryrahmawan.net/tantangan-terbesar-menjadi-seorang-penulis-profesional/
Terima kasih ilmunya