“Keterampilan paling penting menjadi kaya adalah dengan menjadi pembelajar abadi” Naval Ravikant
Ada yang bertanya bagaimana menulis tapi tidak diniatkan karena uang, tapi bisa hidup dari menulis?
Haha… rumit, kan?
Tapi, video yang diulas oleh Rianto Astono, bahwa uang bisa membunuh kreativitas, ternyata ada benarnya, menulis hanya karena uang rasanya hambar, bagaikan makanan tanpa garam.
Lalu, bagaimana kita sebagai seorang penulis yang hidupnya dari menulis, tapi kok nggak menulis karena uang?
Great! Inilah yang akan kita pelajari hari ini.
Terima kasih sebelumnya sudah setia membaca blogpost Impactful Writing.
Semestinya email sudah terkirim 2 minggu yang lalu, karena Kadika dan tim, saat itu sedang fokus rilis Quickstart Content Writer, dan keperluan mendadak di minggu lalu.
Ya, baru bisa berbagi hari ini.
Alhamdulillah.
Oke, lanjut?
Pertama, Tulis Saja
Ada tiga fase yang perlu kamu lalui untuk tetap bisa hidup dari menulis, pertama sudah pasti menulis.
Lupakan target, lupakan angka, lupakan pembaca, tulis saja apa yang kamu ketahui.
Kadika sendiri, kalau ada ide, yang muncul dari kegelisahan, langsung menulis sampai selesai, setelah itu baru didiskusikan, baru ditakar, berapa nilai yang layak dari tulisan ini.
Karena uang itu bakalan mengikuti kalau tulisan kita punya nilai (value), jadi fokus saja menulis yang berkualitas.
Karena bukan perkara mudah untuk menulis langsung booming dan meledak di pasaran. Karena ibarat atlet, nggak mungkin sekali ikut langsung mendapatkan mendali emas. Iya?
Apa yang bisa kamu tulis?
Tulis apa yang kamu ketahui;
Tulis apa yang kamu rasakan;
Tulis apa yang kamu alami;
Tulis apa yang kamu sukai.
Yang paling penting kamu menulis, memiliki alasan yang bisa dipertanggungjawabkan, nggak asal menulis.
Seperti yang dikatakan J. K. Rowling “menulis dari yang kamu ketahui”, karena kalau kita menulis di luar yang kita ketahui, hasilnya tulisan kita nggak akan pernah jadi.
Kadika pernah menulis tentang MBTI karena hanya sedikit pengetahuan yang Kadika miliki, alhasil stuck dan belum bisa dilanjutkan karena ngga tau. :’)
Di tahap ini, fokus saja menulis, menulis, dan menulis.
Tanpa ada ekspektasi bakalan laris, atau bahkan menghasilkan banyak penjualan.
Karena tahap pertama bukan memikirkan strategi, tapi tahap kreasi. Oke?
Karena laris dan rilis adalah strategi. Sedangkan menulis itu sendiri bukanlah strategi.
Lanjut?
Kedua, Rilis
Sekarang Kadika ingin bertanya,
“apakah orang lain akan tau keinginan atau maksud kita, tanpa mengomunikasikannya?”
Tentu saja tidak.
Rilis atau launching, secara esensi adalah mengomunikasikan bahwa kita memiliki karya, memiliki tulisan yang layak mereka tukar dengan uang mereka.
Tahapan rilis, dipastikan karya kita sudah selesai ditulis, karena bakalan pusing kalau karya belum jadi, udah memikirkan bagiamana rilisnya.
Biarkan publik tahu dulu, kalau kamu punya karya.
…dan pastikan jangan asal rilis, ya?
Hasil pengamatan Kadika, buku atau ebook yang laris itu bukan sekadar menulis blurb atau sinopsis, tapi menggunakan halaman penjualan (sales page).
Dimana detail buku yang akan mereka baca sangat detail, jadi pembaca yang sama sekali nggak tau buku kita isinya apa, jadi greget banget pengen beli.
Itulah salah satu penerapan yang dipelajari oleh peserta satu skill batch 2.
Karena dulu Kadika rilis buku indie, nggak jualan pake sinopsis atau blurb doang, tapi dibikin sales pagenya, agar apa?
Pembaca tau dengan detail isi bukunya, kenapa buku tersebut mereka perlukan, dan kenapa juga perlu dibeli sekarang juga.
Mantap?
Ketiga, Laris
Ketika sudah rilis, ternyata belum sesuai harapan, alias belum ada penjualan yang signifikan, artinya kamu perlu strategi dari fase ketiga ini.
Yakni laris.
Karena Kadika pernah membeli modul kursus bahasa Inggris, yang Kadika baru ketahui akhir-akhir ini. Ketika dilihat, rilisnya sudah sejak 2019.
Laris itu soal strategi, entah strategi menjangkau banyak pembeli, bagaimana pengunjung bisa langsung diubah menjadi pembeli, bagaimana yang sudah beli, jadi beli lagi.
Inilah kenapa copywriting penting kamu ketahui, agar apa? Ya, mudah menjual karya-karyamu.
Kekuatan copywriting itu, sebenarnya bukan terletak pada kata-katanya, tapi racikan sudut pandang dan unsur psikologis.
Mau contoh?
Ada sebuah rumah bagus sekali dan terletak di pedesaan yang jauh dari kota, aksesnya pun tidak mudah.
Tapi memiliki kelebihan, yakni udara masih segar, suasana di malam hari yang hening dan damai.
Kalau dibuat copywritingnya, tentu nggak akan menjual akses, tapi yang dijual adalah kedamaian dan ketenangan yang didapatkan ketika menghuni rumah di desa.
Secara fakta, rumah itu di desa, ada pun akses dan kelebihannya, hanyalah soal sudut pandang.
Karena copywriting adalah alat marketing, sedang marketing adalah cara membantu audiens melihat bagaimana kita melihat.
Ya, bisa jadi rebutan rumah tersebut, karena ketika kita picu psikologis orang kota yang sudah penat dengan suasana kota, pasti akan tergerak untuk menghubungi agennya.
Begitu pun karya kamu, mungkin sudah ditulis sesuai kaidah, yakni fokus pada pembaca, tapi belum terkomunikasikan dengan baik.
Nah, itu hanya soal sudut pandang aja.
Beruntungnya, kamu seorang penulis, sudah terbiasa dengan banyaknya sudut pandang yang bisa kamu hadirkan.
Hanya saja, untuk ini, digunakan dalam konteks marketing dan copywriting.
Gimana? Kebayang?
Jadi, 3 fase ini dilakukan secara terpisah tapi saling melengkapi.
Tulis aja dulu, rilis kemudian, lalu lariskan.
dan inilah 3 fase yang akan selalu dilakukan oleh writerpreneur.
Gimana, tertarik? 😀
NB: Untuk kamu yang ingin curi start bagaimana rasanya menjadi content writer di perusahaan,
…kamu bisa ikut Quickstart Content Writer, karena seperti serasa magang, ada bocoran bagaimana HR tertarik, hingga bikin tulisan yang menarik.
Khusus yang ingin mulai karier dari nol. Baca di sini, ya.