Sebelum obat-obatan ditemukan seperti sekarang, aktivitas minum jamu menjadi hal wajib yang dilakukan oleh orang terdahulu kita, agar apa? Sehat bugar, mungkin yang kelahiran 90an, tau jamu buyung upik, yang rasanya manis dan bikin ketagihan. *ups jadi ketahuan deh.
Menjadi Penulis pun butuh jamu, agar apa? Terus menulis hingga tulisan itu terus berkembang dan berkualitas. Masa mau kualitas tulisannya segitu aja? Nggak kan?
Masalah Penulis Pemula
Kebanyakan penulis pemula merasa dirinya nggak konsisten dalam menulis. Mulai dari lelah, nggak ada waktu, nggak ada ide, dsb. Padahal bisa jadi kamu terlalu banyak pikiran atau kamu benar-benar nggak menyempatkan.
Kamu ngerasa gitu?
Kalau aktivitas menulis berat bagimu, “gantilah aktivitas menulis, menjadi mencatat”, begitu kata Penulis, Teddi Prasetya Y.
Ini juga yang saya lakukan, ketika tak sedang menulis, membaca, dan beraktivitas seperti biasa. Ketika ada ide terlewat, saya langsung mencatatnya. Baik di notes (gadget) atau di buku catatan.
Baca juga: Bagaimana Menulis Buku Tanpa Gangguan? Kenali Pemicunya!
Karena hal yang paling penting adalah mengumpulkan ide. Saat kita meluangkan waktu dan duduk di depan laptop untuk menulis. Ide yang udah kita kumpulkan, bisa kita seleksi.
Termasuk ide menulis postingan ini. Saya menulis dari notes, lalu saya kembangkan dalam bentuk tulisan. Saya menggunakan formula menulis impactful writing.
Membuat judulnya, setelah itu sub-judulnya. Saya susun, baru saya tulis, dan itu jauh cepat menghasilkan tulisan.
Mendisiplin Diri adalah Kunci
Kita tau kunci menjadi Penulis adalah konsisten, tapi kalau hanya dimasukkan kuncinya, tanpa ada upaya untuk membukanya? Apakah akan terbuka? Pasti nggak kan? Upaya membuka itu bernama disiplin diri.
Kamu mesti mendisiplinkan diri, seperti kata mentor saya “kita bukan nggak ada waktu buat menulis, tapi nggak meluangkan waktu buat menulis”. Sejujurnya, mendisiplinkan diri itu nggak nyaman, nggak enak, pahit seperti jamu.
Ya, namanya jamu, walau terkadang kita nggak suka, tapi itu berkhasiat. Seperti itulah disiplin diri. Ujungnya akan membawa kenikmatan.
Bahkan Tere Liye sendiri mentantang peserta seminar “cobalah menulis 1000 kata sehari sampai 6 bulan, pasti akan berasa perubahannya.”
Siap Mendisiplinkan Diri?
Konsistensi adalah Tangga untuk Naik Kelas
Kamu sendiri udah nyadar kalau konsisten adalah kunci. Karena kamu juga nggak mau stuck di tempat sekarang, kamu ingin naik kelas, maka konsistensi adalah tangga untuk naik kelas.
Semakin konsisten menulis, semakin terasa kualitas tulisannya. Ingat kan? Di tulisan sebelumnya “kuantitas di atas kualitas”, dimana kualitas akan terbentuk setelah ada serangkaian latihan berhari-hari bahkan berbulan-bulan atau bertahun-tahun.
Baca juga: Lupakan Copywriting, Mulailah Menulis
Yang mesti kamu sadari, proses naik kelas ini nggak bisa instan, butuh proses, butuh latihan. Makanya jangan sepelekan aktivitas yang menjadi rutinitas, karena rutinitas membantu kamu untuk naik kelas.
Seperti kata Austin Kleon dalam Keep Going “ketika kamu tidak memiliki banyak waktu, rutinitas akan membantumu memanfaatkan waktu terbatas yang kamu miliki. Rutinitas membantumu memastikan kamu tidak menyia-nyiakannya.”
Gimana? Makin kebayang?
Apa Motifmu?
Apa yang membuatmu terus menulis? Jawablah jujur dalam dirimu sendiri, karena uang, cinta, penghormatan, atau apapun itu?
Kejarlah motifmu, sampai benar-benar kamu merasa ketagihan akan aktivitas yang sedang kamu lakukan, yakni menulis.
Semakin Bosan, Semakin Ahli
Ibarat besi, yang ditempa saat panas, akan semakin cepat terbentuk. Karena menjadi penulis adalah pembelajar, nggak berhenti di satu tulisan atau di satu buku dan terus belajar mengembangkan kualitas tulisan.
Satu tantangannya, yakni rasa bosan. Semakin kamu bisa menerima rasa bosan itu, semakin kamu bisa mengendalikan prosesmu.
Emang nggak bosen nulis terus? Pasti ada bosennya, tapi karena ada alasan yang kuat dan motif yang jelas, kamu semakin terpacu untuk meraih itu.
Temukan motifmu dan teruslah berlatih. Siap?
Mengukur Kualitas Tulisan
Bagaimana tulisan kita bernilai dan berkualitas? Karen adanya feedback, bukan saja komentar yang menyejukkan hati dan menambah semangat berkarya, juga pembuktian kalau tulisan kamu berkualitas secara nasional. Maka ikutlah lomba menulis.
Saya pribadi bisa juara 1, awalnya dari juara 7. Dan terus berpikir bagaimana membuat tulisan yang enak dibaca, menguntungkan di sisi pembaca, menguntungkan di sisi penyelenggara.
Saya akan membongkar rahasia bisa juara 1 (bahkan 2x juara dalam 1 bulan) di content premium certifiedimpactfulwriter.com.
Menulis itu Soal Rasa
Apa enaknya memplagiat tulisan orang lain? Toh, menulis itu soal rasa. Karena ada “ruh” yang kamu tiupkan. Kamu akan merasakan sensasi yang tak terlupakan.
Rasa akan sampai ke hati pembaca. Maka, libatkan hati saat menulis. Makin pede, makin berasa. Kalau ini konteksnya untuk how to. Mungkin untuk sastra (puisi, dsb), rasanya bukan pede, entah apa, yang penting ada rasanya. 😀
Selangkah Lebih Depan lewat Membaca
Layaknya Koki, kamu mesti banyak membaca buku, bukan aja untuk bahan baku menulis, juga untuk mencari resep agar terus menghidangkan tulisan yang lezat dan enak dibaca.
Seperti dalam Memikirkan Kata “seorang Penulis adalah juga yang gemar (bahkan rakus) membaca. Disinilah ketrampilan membaca dan kekayaan hasil bacaan sangat berpengaruh dalam membentuk seseorang untuk menjadi Penulis. Bacaan seseorang akan membuat pemikirannya lebih berbobot dan selalu diperkaya.”
Untuk menjadi Penulis harga yang mesti dibayar adalah meluangkan waktu untuk membaca. Kamu siap?
Ngomong-ngomong, buku yang paling kamu sukai, apa sih? Dan kenapa? Cerita dong. Makasih ya. 🙂