“Inti digital marketing adalah konten. Inti konten adalah tulisan.” – Dwi Andika Pratama
Kamu ingin mulai karier sebagai content writer?
Tapi bingung mesti mulai dari mana?
Atau bahkan nggak tahu sama sekali apa yang perlu kamu persiapkan?
Selamat!
Kamu mendarat di halaman yang tepat, sebentar lagi kamu akan merasa excited dengan profesi content writer dan siap berproses menjalaninya.
Sudah siap?
Kenapa Bertahap?
Mungkin dalam benakmu bertanya, “apa bedanya jenjang karier dengan tahapan karier?”
Terkesan sama, tapi sebenarnya berbeda.
Kalau jenjang karier content writer, biasanya diterapkan dalam perusahaan, berkaitan dengan job title dan desc kamu sebagai content writer.
Kalau tahapan content writer, melekat dalam kehidupanmu, karena boleh jadi jenjang content writer kamu berada di dalam tahapan karier.
“Waduh, maksudnya bagaimana, Kadika?”
Ya, ketika kamu menjadi content writer di agensi atau perusahaan, itu sebenarnya masuk ke tahapan karier kamu.
Kalau jenjang karier terikat dengan instansi, kalau tahapan karier melekat dalam kehidupan kamu.
“Menarik juga, tapi kenapa mesti bertahap? Apakah bisa langsung loncat ke yang paling tinggi?”
Hmmm, baiklah, sekarang kamu bayangkan seorang atlet angkat besi, ya, contohnya yang baru saja mendapatkan mendali emas di Olimpiade Paris 2024, yakni Rizki Juniansyah.
Kebayang nggak sih kalau Rizki untuk bisa menjadi juara di Olimpiade itu nggak melewati tahapan dari daerah, terus PON (Pekan Olahraga Nasional), terus Sea Games?
Bisa jadi kemungkinan kalahnya akan besar, kenapa? Karena secara kapasitas ototnya dan mentalnya belum siap.
Atau adik kita, yang masih sekolah SD, lalu tiba-tiba masuk kuliah, dengan alasan mempercepat waktu belajar. Ya, nggak bisa, yang ada langsung mabok. Hehehe.
Inilah pentingnya menjalani tahapan karier content writer, agar apa?
Agar otot menulis kamu terlatih, agar mentalitas kamu juga lebih kuat, wawasan kamu lebih luas.
Sekarang bayangin, kalau belum pernah menulis konten di blog atau baru menulis konten di blog, sudah ingin dapetin jobs freelance.
Ya, nggak salah sih, tapi nanti kamu sendiri yang akan merasakan, “kok pusing, ini”, dan akhirnya menyimpulkan content writing bukanlah minat dan bakat kamu. Hmm.
Apa yang kamu akan ketahui, ini adalah hasil pengalaman Kadika menjalani penulis konten selama 10 tahun terakhir.
Semoga wawasan ini membantu kamu dan membuatmu bisa meringkas waktu gagal—karena untuk menuli insight ini, perlu melewati proses. Karena di zaman Kadika, nggak ada panduan yang seperti ini, alhasil jadi lebih lama.
Peran Content Writing Seperti Air dalam Tubuh
“Terus, kenapa sih content writing sepenting ini, Kadika?”
Untuk tahu betapa pentingnya peran content writing dalam digital marketing, kamu bisa ingat-ingat kembali berapa persen air berperan dalam tubuh kita?
Ya, 70% air berperan dalam tubuh kita, kalau kita kekurangan air, aktivitas kita terganggu, bahkan terancam kematian.
Begitu juga content writing dalam digital marketing, sepenting itu. Karena tujuan content writing yakni mengedukasi dan mengubah persepsi.
Sekarang bayangkan, kalau konten blog perusahaan atau brand, nggak ada?
Rasanya seperti nggak niat buat melayani pelanggan, bukan?
Atau konten socmednya nggak ada konten sama sekali, yang ada kita berpersepsi, “ini masih buka nggak, sih?”
Atau cuman jualan doang, yang diarahkan ke sales page—halaman penjualan—apakah kamu tertarik dan percaya?
Rasanya tidak.
Sepenting itu konten dalam digital marketing. Medianya terdiri dari: blog, socmed, email, dan ebook.
Kalau kamu dapat email greeting, tapi nggak ada CTA—call-to-action—yang mengharuskan kamu mengklik sesuatu, itu content writing.
Ebook gratis yang kamu nikmati, yang isinya kamu butuhin banget. Juga content writing berformat .pdf.
Segala hal yang membuatmu bertambah wawasannya, berubah persepsinya, itu artinya content writing tersebut sudah efektif.
Jadi sepenting itu content writing dalam digital marketing. Maka dari itu, ini juga salah satu skill yang menjadi pondasi untuk menjadi digital marketer.
Cara Baru Marketing
Sekarang kamu sudah tahu betapa pentingnya content writing dalam digital marketing.
Sekarang perlu tahu juga kenapa content writing adalah cara marketing baru.
Seperti yang dikatakan oleh Dr. Joe Vitale dalam Buying Trance, “inti pemasaran adalah perubahan persepsi.”
Jadi masuk akal, ya?
Kenapa content writing masuk ke marketing cara baru. Ya, karena tujuannya relevan dengan definisi marketing dari Dr. Joe Vitale.
Disambung lagi perkataan dosen Kadika, “suksesnya komunikasi adanya kesamaan persepsi.”
“Nah, hubungannya apa dengan marketing, Kadika?”
Tentu saja ada banget.
Karena kalau kita sudah sama-sama memiliki pemikiran, wawasan, dan pemahaman yang sama, bukankah kita lebih cepat nyambung dan setuju? Karena mengerti alur pemikirannya?
Begitu juga dalam marketing, kalau kata Seth Godin dalam This is Marketing, “marketing hadir untuk membantu audiens melihat bagaimana cara marketer melihat.”
Yang intinya sama saja, ‘kan? Kesamaan persepsi? Iya?
Jadi ketika marketer di perusahaan atau brand dalam pesan campaignnya, “ini bagus dan baik buat kamu, beli, ya.” Karena kamu paham betul apa yang dijual, ya, kemungkinan untuk beli itu besar banget.
Apalagi kalau mereka sudah memahami kamu, mulai dari apa masalah kamu, hambatan kamu, dan apa yang kamu inginkan dan harapkan, terus mereka menyodorkan produk sebagai solusi untuk itu semua.
Boom! Terjadilah penjualan.
Bagaimana makin excited jadi content writer? Merasa kehadiran content writer sepenting itu?
“wah, wah, ini sih bikin menjalani profesi content writer ini jadi lebih powerful dan excited.”
Oke, itu artinya kamu siap untuk menjalani tahapan karier content writer.
Kamu juga bisa mempersiapkan diri untuk menjalani tahapan karier copywriter.
Tahapan Pertama, Menjadi Content Writer di Blog Pribadi
Seperti yang kita ketahui di awal, penting memiliki kebiasaan menulis agar kita punya otot menulis yang terlatih, mental yang kuat, wawasan yang luas.
Karena content writing media utamanya adalah konten blog, maka yang bisa kita upayakan adalah menjalani tahapan karier content writer ini di blog pribadi terlebih dahulu.
Nggak jauh beda, kok, kalau nanti dapat jobs atau diterima perusahaan untuk menjadi content writer.
Beda brief saja.
“Terus, apa yang bisa aku tulis, Kadika?”
Great question!
Semua yang kamu ketahui, alami, dan rasakan. Tulis saja tanpa perlu berpikir, “ini bagus, nggak ya?”, “duh, sepertinya ini jelek.”
Singkirkan dulu pikiran-pikiran itu, kalau nggak mau pergi, kamu omelin aja, “hey kamu diam, aku sedang ingin menulis, kamu belum saatnya muncul.”
Ya, suara-suara tadi adalah bagian diri editor. Hobi mengoreksi tulisan, tapi kalau muncul di saat yang tidak tepat, ya, jadi bencana.
“Terus, bagaimana cara menulisnya, Kadika?”
Ya, seperti yang dikatakan oleh penulis Hypnotic Writing, Dr. Joe Vitale, “meniru adalah belajar.”
Sambil menulis, sambil membaca artikel-artikel di web perusahaan atau brand, ketahui juga jenis content writing.
Karena rekomendasi Kadika, untuk terbiasa menulis artikel, bisa dengan listicle alias list article, yang artikel ada angkanya itu adalah listicle.
Contoh, 5 kerugian tidak tes bakat.
Nah itu listicle, selain mengundang penasaran orang lain, juga memudahkan kamu menulis poin-poinnya.
Amati saja bagaimana intronya, menyajikan poin-poinnya. Bisa juga dari pengalaman kamu, misal: 3 Pelajaran Penting yang Gue Dapetin Hari Ini.
“Apa boleh seperti itu Kadika?”
Boleh banget, itu termasuk personal story + listicle.
Kalau untuk blog pribadi nggak apa-apa, kalau dalam web perusahaan atau brand, hindari penggunaan kata “aku” dan “saya”, atau apa pun yang mewakili orang pertama.
“Kenapa begitu, Kadika?”
Ya, karena content writing kamu mewakili brand voice atau karakter brand, jadi to inform saja.
Setelah kamu terbiasa menulis konten di blog pribadi, kamu bisa naik tahapannya, ke…
Tahapan Kedua, Menjadi Freelance Content Writer
Taukah kamu? Cara mendapatkan freelance selain menjajakan jasa di marketplace jasa, juga dari blog.
Kamu bisa memasarkan diri lewat media sosial dan blog itu sendiri, karena memiliki blog, tanda kamu selangkah lebih kredibel dibanding freelance content writer yang nggak punya blog, meski punya portofolio.
Ya, kamu lebih profesional, apa lagi kalau blog kamu diubah jadi domaindotcom atau domaindotid, akan semakin meyakinkan mereka.
Seseorang itu akan menilai bukan saja hasil terbaiknya, tapi proses seseorang mencapai hasil terbaik itu.
Inilah alasan Kadika juga tidak menghapus tulisan-tulisan lawas di blog pribadi.
Selain kamu sudah terbiasa menulis, yang membuat otot menulismu terlatih, yang bikin kamu sudah siap menerima project content writing.
Karena kalau belum sama sekali punya pengalaman—latihan menulis di blog pribadi—rasanya gempor banget, ibarat atlet angkat besi itu, belum juga mencapai PON, tapi pengen Olimpiade. Hehehe…
Tahapan Ketiga, Menjadi Content Writer di Perusahaan
Tekanan di perusahaan dengan freelance sebenarnya lebih menantang di freelance, tapi tekanan itu membuat mental kita jadi kuat.
Kamu bisa tebak?
Ya, kalau di freelance, nggak mengerjakan project, ya, nggak dapat uang. Makanya kita memacu diri untuk bisa terus mendapatkan project.
Bisa dibilang ketika kita jadi freelance, kita belajar yang dibayar. Sambil terus improve, tapi pengalaman dan portofolio kita bertambah.
Jadi ketika di perusahaan ada deadline, kamu terbiasa untuk terpacu memicu diri untuk selesai sesuai atau sebelum deadline.
Karena kamu jadi punya cara atau jalan pintas untuk tetap kreatif. Karena sepengalaman Kadika yang belum terbiasa menulis, terus menulis konten di perusahaan, duh, banyak bengongnya. Wkwk.
Jadi di awal-awal saja ketika kamu berupaya keras untuk melatih otot menulis dan mental, makin naik tahapannya kamu akan terbiasa dengan berbagai tantangan, dan itu tandanya kamu siap untuk…
Tahapan Keempat, Menjadi Full Time Blogger
Ya, menjadi blogger.
“Kenapa tahapan terakhir menjadi blogger, Kadika?”
Karena otot menulis kamu sudah kuat dan terlatih, mental kamu juga tangguh, dan wawasan kamu juga luas.
Sebagaimana atlet tingkat nasional untuk bertanding di kejuaraan daerah akan terasa mudah, meski tidak bisa dianggap remeh, tapi biasanya mereka yang terbiasa nasional, akan terasa biasa saja.
Nah, merasa biasa saja ini mentalitas juara. Ketika kamu menjadi blogger setelah melewati beberapa tahapan content writer.
Kamu akan terbiasa:
- Disiplin menulis, entah peduli lagi mood atau nggak
- Tahu apa yang diinginkan dan dibutuhkan pembaca
- Tahu secara teknis tulisan yang bisa masuk halaman satu
- Terbiasa secara teknis mengulik blog
Menarik, ya?
Tahapan awal dan akhir startingnya nggak berubah, yakni mulai dari blog—mestinya begitu, seperti kadika membangun dwiandikapratama.com, sejak 2015 hingga hari ini, blognya masih sama.
Tapi, yang berubah dan bertambah adalah pengalaman dan wawasan kamu.
Di tahapan ini yang perlu kamu lakukan adalah belajar bagaimana membuat blogmu menjadi sumber pemasukan, entah dari content placement, sponsored post, produk yang kamu buat, atau layanan lainnya.
Dalam tahapan ini yang paling penting kamu kuasai adalah design thinking untuk bikin produk, entah itu bentuknya ebook, ecourse, konsultasi, atau private.
Selain itu, kuasai ilmu list building, ya, ini paling penting, karena Kadika bisa dapetin cash atau uang setelah belajar list building.
Terus, kalau bisa kuasai skill websitenya juga. Agar apa? Syukur-syukur, sih, ada yang ingin dibuatkan website, karena itu cukup besar pemasukannya.
Intinya pelajari dan kuasai ilmu bisnis dan marketing, karena penting untuk terus membuat blog kita menghasilkan pemasukan.
“Ternyata jadi blogger itu tidak mudah, ya, Kadika?”
Tidak mudah kalau kita belum memulai dari tahapan awal, kalau kita melewati tahapannya, menjadi blogger akan terasa seru. Percaya, deh.
Setelah Ini Ngapain?
Wah, nggak terasa nih, sudah sampe akhir. Luar biasa! Hahaha…
Jadi setelah ini apa?
Ya, kamu bikin blog, rekomendasi Kadika:
- Blogger.com
- Medium.com
- WordPress.com
Urutan menentukan kemudahan untuk dicustom domaindotcom atau TLD (top-level domain) lainnya.
Kalau kamu nggak ada pengalaman, pemahaman, dan budget.
Tapi punya kemauan dan tekad untuk konsisten, program Quickstart Content Writer bisa membantu kamu menjadi berani memulai karier sebagai content writer.
Kamu bisa meyakinkan publik dan perusahaan dengan powerful portofolio, yang sudah terbukti oleh mereka yang pernah menjadi freelance di agency dan perusahaan yang Kadika pimpin.
Kalau kamu butuh pengukuhan dan skill content writing kamu diakui, juga ada budget, karena masih minder sama skill yang dimiliki, ya, program Certified Impactful Writer rekomendasi buat kamu.
Kamu membuat perusahaan menjadi lebih yakin dengan certified-nya kamu.
Selain hasil uji kompetensi kamu berkualitas—karena di CIW, kami mendorong kamu untuk membuat artikel original—juga sertifikat profesi Certified Impactful Writer.
“Apakah mesti ikut semuanya, Kadika?”
Nggak kok, sesuai yang dibutuhkan dan kemampuan saja. Karena setiap program fokusnya menyelesaikan satu problem.
Kalau Quickstart Content Writer, problemnya yang bingung mesti mulai dari mana, terus karena sudah jelas, jadi berani buat mulai karier sebagai content writer.
Kalau Certified Impactful Writer, problemnya minder sama skill yang dimiliki dan sulit dipercaya perusahaan,
…terus dengan wawasan, pelatihan, dan identitas profesi jadi percaya diri, dan langsung terbentuk reputasi karena feedback tertulis dari mentor bagian dari reputasi.
Secara tidak langsung, setelah lulus kamu dapat tiga: kompetensi, reputasi, dan portofolio.
“Tapi, aku belum bisa ikut keduanya, Kadika, mesti gimana?”
Nggak apa-apa, Kadika cuman info saja, nggak memaksa kamu untuk ikut, itu hanya rekomendasi, toh lewat blogpost ini sudah jelas apa yang bisa kamu lakukan, iya kan?
Setelah bikin blog, yakni menulis yang kamu sukai dan kuasai, setelah itu cukup sering-sering membaca banyak buku, artikel sejenis.
Semoga membantu, ya.[]